Urgensi dan Aplikasi Petitum Subsider dlam Perkara Perdata
URGENSI DAN APLIKASI PETITUM SUBSIDAIR
DALAM PERKARA PERDATA
Oleh : H. A. ZAHRI, S.H. MH.I
(Wakil Ketua Pengadilan Agama Polewali)
A. Pendahuluan
Dalam perkara pidana sudah lazim diberlakukan beberapa bentuk surat dakwaan, salah satunya dibuat dakwaan berlapis (subsidair). Surat dakwaan ini disusun untuk menuntut perkara pidana lebih dari satu dakwaan yang disusun dengan mempertimbangkan bobot pidana, pidana yang berat ditempatkan pada deretan pertama, yang disebut dakwaan primair, kemudian disusul dengan dakwaan dengan bobot pidana yang lebih ringan sebagai dakwaan subsidair. Jika masih ada lagi bobot pidana yang lebih ringan, diurutkan lagi dengan urutan ketiga dengan dakwaan lebih subsidair, urutan keempat, lebih subsidair lagi dan kelima, lebih-lebih subsidair lagi.
Misalnya: Surat dakwaan disusun secara belapis sebagai berikut:
Primair: Pembunuhan berencana (pasal 340 KUHP).
Subsidair: Pembunuhan (pasal 338 KUHP).
Lebih Subsidair: Penganiayaan berencana yang mengakibatkan matinya orang (pasal 355 ayat 2 KUHP).
Lebih Subsidair lagi: Penganiayaan berat yang mengakibatkan matinya orang (pasal 354 ayat 2 KUHP).
Lebih-lebih Subsidair lagi: Penganiayaan biasa yang mengakibatkan matinya orang (pasal 351 ayat 3 KUHP).
Surat dakwaan disusun sedemikian rupa agar terdakwa tidak bisa lolos dari jerat hukum. Jerat/jaring dibikin sekuat dan serapat mungkin, sehingga perbuatan pidana yang masuk katagori ”kakap” hingga ”teri” dapat terperangkap oleh jaring yang dibuat jaksa penuntut umum.
Meskipun memiliki karakter yang berbeda dengan hukum acara pidana, dalam gugatan perdata juga lazim dibuat tuntutan berlapis, dalam pengertian ada petitum primair dan petitum subsidair. Dalam pembuatan surat gugatan, petitum subsidair dicantumkan setelah petitum primair, hanya saja petitum subsidair tidak dirumuskan secara jelas dan rinci, cukup dengan rumusan tunggal dan singkat yang biasanya berbunyi, ” Jika Pengadilan berpendapat lain, mohon putusan yang seadil- adilnya (Ex aequo et bono/naar bellijkheid)”.
Dalam praktek peradilan perdata, petitum subsidair kurang diperhatiakan atau bahkan diabaikan begitu saja. Terbukti jarang sekali pengadilan (hakim) mempertimbangkan dan memutus berdasarkan petitum subsidair. Sebabnya barang kali karena rumusan petitum subsidair bersifat global (mujmal), tidak jelas dan rinci (tafshil); mungkin juga pengadilan kuatir melanggar azas ultra petita. Jika demikian halnya, apa urgensi petitum subsidair dalam surat gugatan? Apakah punya peran subtantif atau hanya accessoreis ? Dan bagaimana aplikasinya bila dihadapkan pada larangan ultra petita?
B. Pengertian Petitum Subsidair
Sebelum dikemukakan pengertian petitum subsidair terlebih dahulu perlu dipaparkan pengertian petitum itu sendiri. Petitum (bentuk tunggal) atau petita (bentuk jamak) atau ada yang menyebut dengan diktum gugat adalah apa yang diminta atau diharapkan oleh penggugat agar diputus oleh hakim dalam persidangan. Tuntutan ini akan terjawab di dalam amar putusan. Atau kesimpulan gugatan yang berisi rincian satu persatu tentang apa yang diminta dan dikehendaki penggugat untuk dinyatakan dan dihukumkan kepada para pihak, terutama kepada pihak tergugat.
Dari definisi di atas, maka petitum dalam struktur surat gugatan berada di bagian paling akhir karena ia merupakan kesimpulan dari surat gugat itu sendiri atau merupakan ”saripati” gugatan dalam bentuk rumusan tuntutan-tuntutan penggugat kepada tergugat. Dengan demikian, petitum harus dirumuskan secara jelas, singkat dan padat, tuntutan yang tidak jelas maksudnya atau tidak sempurna dapat mengakibatkan tidak diterima atau ditolak oleh hakim. Disamping itu, petitum harus berdasarkan hukum dan beralasan hukum serta didukung oleh posita. Posita yang tidak didukung oleh petitum bisa dianggap hanya sebatas ”curhat”, sehingga berakibat tuntutan penggugat tidak dapat diterima (niet ontvenkelijke verklaard). Sebaliknya petitum yang tidak didukung oleh posita merupakan tuntutan yang tidak jelas maksudnya dan lazim dalam acara perdata masuk katagori gugatan yang kabur (obscuur libel) dan bermuara gugatan tidak dapat diterima.
Untuk sampai pada pengertian petitum subsidair harus dijelaskan terlebih dahulu arti subsidair. Menurut Prof R. Subekti, S.H dan R. Tjitrosoedibio:
“ Subsidiair = sebagai pengganti sesuatu apabila ini tidak terjadi. Hukuman kurungan subsidiair adalah hukuman kurungan sebagai pengganti hukuman denda apabila terhukum tidak membayarnya, Hipotik subsidiair adalah hipotik penambah dalam hal hipotik yang pertama tidak mencukupi guna menjamin utang seluruhnya. Tududuhan subsidiar adalah tuduhan sebagai pengganti tuduhan primair dalam hal ini tidak terbukti”.
Bila dirangkai kata petitum/petita dan subsidair (petitum subsidair), maka dapat didefinisikan sebagai suatu tuntutan yang diajukan sebagai antisipasi barangkali tuntutan pokok dan tuntutan tambahan tidak diterima/ditolak oleh hakim, sifatnya merupakan tuntutan cadangan.
Hal agak berbeda dari definisi di atas adalah pendapat M. Yahya Harahap, S.H, bahwa petitum subsidair bukan semata tuntutan cadangan, namun sebagai tuntutan alternatif bila disandingkan dengan tuntutan primair. Tuntutan primair mupun subsidair masing-masing diuraikan secara jelas dan rinci secara berjenjang, tuntutan yang keras/ekstrem dirumuskan dalam tuntutan primair, sedangkan yang lunak dalam petitum subsidair, lebih lunak lagi dalam lebih subsidair; asal tuntutan-tuntutan tersebut masih sejalan dengan dalil gugatan. Dalam hal ini rumusan petitum subsidair mirip dengan rumusan dakwaan berlapis dalam acara pidana; meskipun disebut istilah tuntutan alternatif tentu berbeda dengan dakwaan alternatif dalam perkara pidana.
Dalam konstruksi surat gugatan, selain petitum subsidair tentu ada petitum yang mendahuluinya karena tidak dimungkinkan dalam surat gugatan ada petitun subsidair tanpa petitum yang lain. Petitum sebelum subsidair lazim disebut petitum primair, yang didalamnya terkadang dibagi dalam tuntutan pokok dan tuntutan tambahan.
Petitum primair pokok, yaitu: tuntutan yang sejatinya dikehendaki oleh penggugat untuk dipenuhi tergugat melalui pengadilan sebagaimana yang diuraikan dalam posita gugatan. Kehendak utama penggugat tertuang dalam tuntutan ini, bila tututannya dikabulkan penggugat akan merasa berhasil dan puas. Sementara tuntutan primair tambahan, ialah tuntutan yang merupakan pelengkap dari tuntutan primair pokok, biasanya tuntutan tambahan ini untuk memuluskan terlaksananya tuntutan primair pokok atau memberi keuntungan lebih dari tuntutan pokok atau bahkan sekedar memenuhi ketentuan perundang – undangan. Tuntutan primair tambahan dapat berupa, misalnya : tuntutan agar pihak yang dikalahkan dihukum membayar biaya perkara atau dalam perkara perceraian supaya dibebankan kepada penggugat/termohon, tuntutan agar putusan dinyatakan dapat dilaksanakan terlebih dahulu (UBV) dst.
C. Urgensi Petitum Subsidair
Walaupun secara teori petitum subsidair dapat dirumuskan secara jelas dan rinci, namun dalam praktek peradilan perdata petitum subsidair lazim dipahami sebagai petitum antasipasi atau cadangan, bukan petitum alternatif sehingga tidak dijumpai rumusan yang jelas dan rinci, hanya dirumuskan secara global. Manakala dalam praktek berlaku pemahaman seperti tersebut di atas, maka timbul persoalan, apakah dalam perkara perdata masih perlu ada petitum subsidair? Jika perlu ada, apa urgensinya ?
Untuk menjawab pertanyaan ini terdapat 2 (dua) pendapat. Pendapat pertama, bahwa dalam perkara perdata tidak perlu ada petitum subsidair, karena petitum subsidair biasanya dirumuskan dalam kalimat yang sangat umum, yaitu “ Mohon putusan yang seadil- adilnya”. Meskipun penggugat/pemohon tidak merumuskan dalam petitum subsidair, tentu orang sudah mafhum, bahwa ia mengajukan perkara ke pengadilan tentu minta putusan yang adil.
Dengan rumusan petitum subsidair yang sangat umum itu akan merepotkan hakim dalam mengimplementasikan maksud penggugat/ pemohon, karena dalam hukum acara perdata dikenal asas Hakim Pasif, artinya dalam perkara perdata ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada azasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi hambatan dan rintangan untuk dapat dicapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
Hakim wajib mengadili seluruh gugatan dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari yang dituntut (pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR/pasal 189 ayat (2) dan (3) Rbg). Dengan demikian tidak perlu ada lagi petitum Subsidair, karena apa yang dituntut penggugat/pemohon sudah tercantum dalam petitum primair. Jika petitum primair kabur, gugatan tidak dapat diterima dan jika penggugat tidak dapat membuktikan dalil- dalil gugatannya, gugatan ditolak .
Pendapat Kedua, perlu ada petitum subsidair untuk mengantispasi barangali tuntutan primair ditolak oleh hakim. Dalam hal ini karena hakim yang dianggap paling tahu hukum dan memang seharusnya hakimlah yang harus menguasai hukum, baik hukum materiil maupun hukum formil, sesuai asas “Ius curia novit”. Karenanya, pembuat undang-undang mewajibkan hakim untuk selalu menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. (Vide: pasal Pasal 28 ayat 1 UU No. 04 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman).
Hakim sebagai tempat pelarian akhir bagi para pencari keadilan, karena dianggap bijaksana dan tahu hukum, bahkan menjadi tempat bertanya segala macam pesoalan hukum bagi masyarakat. Daripadanya diharapkan pertimbangan sebagai orang yang tinggi pengetahuan dan martabatnya. Diharapkan dari hakim sebagai orang yang bijaksana, arif dalam menyelesaikan masalah/memutus sengketa. Dengan demikian patut kiranya para pencari keadilan menggantungkan keinginannya kepada hakim diluar pengetahuannya. Maka tepat kiranya dan jelas urgensinya jika setiap tuntutan disertai dengan tuntutan subsidair.
D. Aplikasi Petitum Subsidair berhadapan Larangan Ultra Petita
Pengadilan dalam memeriksa dan mengadili perkara terikat dengan hukum formil/acara. Hukum acara, termasuk hukum acara perdata masuk ranah hukum publik karena memiliki sifat mengatur, mengharuskan untuk ditaati, mengikat (binding) bagi para pihak maupun pengadilan (hakim) dan jelas/kongkrit (qoth’i) nyaris tidak membutuhkan interpretasi. Oleh karenanya nyaris tidak boleh ada kesalahan dalam penerapannya, terutama oleh hakim.
Salah satu azas dalam beracara yang harus ditaati dan tidak boleh dilangggar adalah azas ”ultra petita”, yaitu hakim dilarang memutus atau mengabulkan hal-hal yang tidak dituntut atau melebihi yang dituntut.
Semua lembaga peradilan, baik Mahkamah Agung dan empat lingkungan peradilan di bawahnya maupun Mahkamah Konstitusi memiliki rambu ultra petita, meskipun berlaku mutatis mutandis di antara mereka. Sekedar contoh. Dalam hukum acara perdata patokan ultra petita berdasarkan tuntutan yang dirumuskan dalam surat gugatan, sementara dalam acara pidana, ultra petita tidak didasarkan pada surat tuntutan (requisitor) jaksa penuntut umum, namun tetap bersandar pada surat dakwaan walaupun disebut dengan istilah tidak boleh mengadili melebihi yang dituntut atau yang tidak dituntut. Ketentuan lain tentang rambu ultra petita pada acara pidana berkaitan dengan berat ringannya hukuman (ancaman hukuman maksimal-minimal) yang tidak boleh keluar dari ketentuan perundang-undangan. Hal yang tidak jauh beda soal ultra petita berlaku pula di lingkungan PTUN dan MK dengan varian masing-masing sesuai dengan sifat dan karakter tata hukum yang berlaku.
Sementara hakim sebagai salah satu pelaku utama penegakan hukum (law enforcement) memiliki fungsi: menerapkan hukum (bouche delaloi), menemukan hukum (rechtsvinding) dan menciptakan hukum (rechtschepping) . Bila karakter hukum acara perdata yang ”rigid” (kaku) dihubungkan fungsi dan kewenangan hakim yang ”flexible” (lentur) maka terbuka ruang bagi hakim untuk menghadirkan keterpaduan dan keserasian kedua hal tersebut dalam mengadili suatu perkara sehingga terwujud keadilan hukum, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum atau tercapai pula legal justice, social justice and moral justice.
Menurut amatan dan pengalaman penulis, setidaknya ada dua arus pemikiran dalam merespon tuntutan penggugat, khususnya yang berkaitan dengan petitum subsidair yang global dan abstrak tersebut.
Arus pemikiran pertama bisa disebut corak pemikiran yang ”formalistik – legalistik”. Meskipun hakim memiliki kapasitas: menerapkan hukum, menemukan hukum dan bahkan menciptakan hukum, namun ketiga hal tersebut tidak bisa dilakukan secara general dalam semua bidang hukum. Dalam ranah hukum materiil peluang untuk menemukan dan bahkan menciptakan hukum lebih terbuka asal melalui proses penalaran yang matang sesuai dengan kaidah penalaran yang standart. Tetapi dalam hukum formil fungsi hakim hanya sekedar melaksanakan ketentuan hukum yang berlaku, tidak ada lagi ruang untuk ijtihad.
Dalam arus pemikiran ini, hakim tidak boleh menyimpangi larangan ultra petita, karena ultra petita adalah azas yang harus ditaati agar tercipta kepastian hukum. Hakim baru boleh menyimpang dari azas ultra petita jika memang ada alasan yuridis yang lebih tinggi atau sekurang-kurangnya sama dengan HIR/R.Bg sebagai lex specialis. Dan faktanya telah ada aturan hukum yang dapat dipahami sebagai penyimpangan dari azas ultra petita dalam mengaplikasikan petitum subsidair ”Ex aequo et bono” dalam putusan dengan legalitas yang sama dengan azas ultra petita.
Dalam case ini bisa dikemukakan contoh pemahaman pelanggaran azas ultra petita yang legal formal, yaitu pembebanan kepada bekas suami/ayah untuk membayar nafkah iddah, mut’ah dan nafkah anak kepada bekas suami dalam perkara cerai talak. Bila dalam surat gugatanya istri tidak menuntut haknya berkaitan dengan akibat perceraiannya, mungkin karena ia tidak tahu haknya atau tidak tahu cara mengajukan haknya di pengadilan, maka hakim karena jabatannya (ex officio/Ambtshalve) diperkenankan menghukum pihak suami tanpa ada tuntutan hak dari penggugat/istri untuk membayar kewajiban-kewajiban tersebut. Landasan yuridis yang dipakai dalam kasus ini adalah pasal 41 hurus c Undang –Undang Nomor 01 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi, ”Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri”.
Wal hasil, pelanggaran ultra petita dibenarkan jika dikehendaki oleh undang-undang itu sendiri bukan oleh kemauan dan keinginan hakim. Hakim tidak boleh membuat diktum putusan manakala tidak ada rumusan dalam petitum gugatan hanya atas dasar petitum subsidair”Ex aequo et bono” di luar yang direkomendasi oleh undang-undang itu sendiri. Jadi hakim tidak perlu ribet, kalau gugatan tidak memenuhi syarat formil, gugatan tidak dapat diterima dan bila tidak terbukti gugatan ditolak.
Arus pemikiran kedua bisa disebut corak pemikiran ”progresif” atau ”dinamis”. Corak pemikiran ini memiliki pandangan bahwa hakim bukan corong undang-undang, tapi hakim adalah penegak hukum dan hukum itu sangat luas cakupannya tidak hanya sekedar peraturan perundang-undangan, bahkan bila keadaan menghendaki hakim perlu menciptakan hukum (rechtschepping/judge made law ). Hakim harus befikir maju, visioner dan mencerahkan. Tidak jumud dan terperangkap dalam bingkai legalitas perundangan.
Sudah barang tentu tidak serta merta sesuatu yang menyelisihi ketentuan undang-undang bisa disebut pemikiran “progresif” atau “dinamis”. Misalnya ketika hakim mencampakkan aturan formil (hukum positif) hanya dengan dalih bahwa HIR/R.Bg merupakan produk masa lalu (kolonial Belanda) yang sudah usang/udzur dan tidak sesuai lagi dengan zaman sekarang, tanpa disertai dasar dan alasan yang mapan tentang ketidak keserasiaannya dengan zaman sekarang, tentu belum memenuhi kreteria berfikir ”progresif”.
Boleh jadi akan muncul pertanyaan, apakah tidak berbenturan bila corak berfikir yang ”progresif” dihubungkan dengan karakter hukum formil yang ”rigit”, ataukah bisa saling mengisi antara keduanya ? Kedua kemungkinan itu tentu bisa terjadi, tergantung kualitas hakim dalam menghadirkan pertimbangan hukum putusan (legal reasoning)-nya.
Cara pandang yang ”progresif dan dinamis” dalam menghadapi azas ultra petita, khususnya dengan rumusan petitum subsidair yang global, tentu tidak berhenti dalam satu pasal dalam membuat pertimbangan, akan tetapi pasti dikaitkan dengan pasal-pasal yang lain, bahkan dihadapkan dengan bangunan hukum acara secara holistik dan komprehensif: aspek historis, filosofis, dan sosiologis. Justru dari rumusan petitum subsidair yang global itulah hakim ”progresif” akan mampu menyelesaikan sengketa secara tuntas tanpa keluar dari duduk perkaranya dan semangat aturan formil.
Dengan kata lain, bahwa hakim bebas menerapkan tuntutan subsidair menurut keyakinannya apabila tuntutan primer tidak terpenuhi. Hal ini perlu dilaksanakan oleh hakim guna mencegah tuntutan penggugat/pemohon tidak hampa dan sia-sia. Hakim harus berupaya semaksimal mungkin untuk memberikan putusan yang seadil- adilnya.
Konkritisasi putusan yang seadil-adilnya atau putusan yang ideal biasanya berpijak pada 3 (tiga) kreteria sebagaimana tersebut di atas, yaitu : keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.
Agar putusan memenuhi rasa keadilan, maka hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai- nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Living Law), sesuai pasal 28 ayat (1) Undang- undang nomor 4 Tahun 2004. Hakim harus memahami keadaan sosial yang hidup dalam masyarakat dan ia harus memberikan keputusan berdasarkan atas kenyataan sosial yang hidup dalam masyarakat tersebut (Social oriented). Namun social oriented ini tidak boleh merugikan kepentingan pencari keadilan. Harus diingat, kepentingan utama dalam suatu perkara (putusan) adalah mencari keadilan.
Kreteria kedua kepastian hukum. Sepatutnya dalam perkara serupa tidak diputus berlainan, apabila terjadi satu perkara diputus berlainan bahkan bertentangan dengan putusan yang mendahuluinya mengenai perkara yang serupa, maka tidak ada kepastian hukum, kecuali tuntutan zaman menghendakinya. Hakim Agung Cardoso mengatakan : May Duty As Judge May be to objectify in Law, not may own aspirations and conviction and philosophies of the men and women of my time. Hardly shall I do this well if my symphaties and beliefs and passiononate devotion are with a time that is part. Meskipun demikian hakim harus tetap berpegang pada asas legalitas, yaitu mengikuti ketentuan - ketenuan dalam hukum formil dan materiil. Kecauali ada alasan yang lebih kuat (Contra Legem).
Kreteria ketiga asas kemanfaatan. Tugas hakim adalah menjatuhkan putusan yang mempunyai akibat hukum bagi pihak lain. Kalau seorang hakim hendak menjatuhkan putusan, maka ia harus berusaha agar putusannya dapat diterima oleh para pihak pencari keadilan dan masyarakat. Setidak - tidaknya berusaha agar lingkungan yang dapat menerima keputusannya itu seluas mungkin. Hakim akan merasa lebih lega apabila dapat memuaskan semua pihak terhadap putusannya.
Untuk memuaskan pihak lain atas putusannya, maka ia (hakim) harus meyakinkan pihak lain tersebut dengan alasan - alasan atau pertimbangan - pertimbangan, bahwa putusannya adalah tepat atau benar. Dalam hal ini ada beberapa pihak yang menjadi sasaran putusan hakim, yaitu ;
• Pertama, kepada para pihak. Secara obyektif putusan yang tepat dan tuntas akan dapat diterima bukan hanya oleh penggugat, melainkan juga oleh tergugat. Hakim akan lebih puas apabila putusannya memenuhi keeinginan dan dapat diterima oleh kedua belah pihak berperkara.
• Kedua, kepada masyarakat. Hakim harus mempertanggung jawabkan putusannya kepada masyarakat dengan melengkapinya dengan alasan - alasan. Masyarakat sebagai keseluruhan harus dapat menerima putusan tersebut. Masyarakat bukan hanya mempunyai pengaruh terhadap putusan, tetapi juga terhadap hakim. Hakim harus mempertimbangkan perkembangan masyarakat dalam membuat keputusan.
• Ketiga, pertanggung jawaban kepada Pengadilan Banding. Pada umumnya hakim dari peradilan tingkat pertama akan kecewa apabila putusannya dibatalkan oleh peradilan banding, maka oleh karena itu wajarlah kalau hakim dari peradilan tingkat pertama selalu berusaha seoptimal mungkin agar putusannya tidak dibatalkan dengan memberikan alasan- alasannya lengkap dan ketat.
• Keempat, kepada Ilmu Pengetahuan. Setiap putusan harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Hal ini dimaksudkan agar setiap orang mengetahui dan mendiskusikan putusan tersebut. Dengan demikian putusan pengadilan menjadi objek ilmu pengetahuan hukum untuk dinalisa di sistematisir dan diberi komentar. Oleh karena itu hakim harus berusaha agar putusannya dapat diterima oleh ilmu pengetahuan hukum.
Jadi dengan pemikiran ”progresif” atau “dinamis” petitum subsidair dapat diamplikasikan dalam putusan sepanjang memenuhi 3 (tiga) kreteria tersebut diatas.
Hal yang perlu dicermati, apakah mengikuti arus berfikir ”progresi” atau ”formalistik” bila menerapkan petitum subsidair dalam putusan seyokyanya memperhatikan dua hal tersebut di bawah ini:
1. Petitum subsidair masih sejalan dengan posita gugatan dan ada keterkaitan atau keserasian dengan petitum primair serta tidak merugikan pihak tergugat ;
2. Tidak mencampur aduk petitum primair dengan petitum subsidair, manakala petitum subsidair dirumuskan dengan rinci dan jelas; harus pilih salah satu ;
Kecendrungan kita mengikuti arus berfikir ”formalistik-legalistik” atau ”progresif dinamis” biasanya terkait situasi dan kondisi internal dan ekternal. Langkah progresif terkadang muncul dari dalam diri kita manakala kita merasa tidak puas dengan hukum acara yang berlaku saat ini. Kita ingin mengabaikannya ketika menghadapi kasus yang pelik dan ia tidak memberi solusi yang memuaskan dan sejalan dengan nurani keadilan. Namun tak jarang kita merasa enjoy dengannya dan tidak perlu berfikir untuk mengabaikannya. Boleh jadi kedua hal tersebut tejadi karena pengaruh ekternal dari teman sejawat, atasan dan sebagainya.
E. Kasus Posisi
Ada dua kasus yang dapat dikemukakan sebagai contoh putusan perkara perdata yang diputus berdasarkaan petitum subsidair:
1. Gugatan Pembatalan Nikah
Penggugat mengajukan gugatan dengan mengemukakan alasan. bahwa penggugat menikah dengan tergugat karena dipaksa oleh keluarga tergugat atau setidak-tidaknya penggugat tidak setuju menikah. Dalam persidangan pihak tergugat membantah dalil-dalil penggugat, bahwa tergugat tidak memaksa, tetapi hanya meminta melalui Pegawai Pencatat Nikah agar penggugat menikahinya karena ia (tergugat) telah hamil akibat berhubungan badan dengan penggugat. Dalam proses persidangan penggugat tidak mampu membuktikan, bahwa perkawinannya dengan tergugat ada unsur paksaan atau tidak adanya kerelaan.
Dalam putusannya majelis hakim menolak gugatan primer penggugat dan mengabulkan gugatan subsidairnya dengan rumusan amar: Menceraikan ikatan perkawinan penggugat dengan tergugat.
Pertimbangan yang dipergunakan majelis hakim tersebut :
a. Gugatan pokok tidak terbukti ;
b. Terdapat fakta hukum, bahwa setelah akad nikah, penggugat dan tergugat tidak pernah rukun/kumpul sebagaiama layaknya suami-istri; tujuan perkawinan tidak tercapai ;
c. Penggugat dan tergugat sama-sama tidak ingin mempertahankan perkawinannya ;
2. Perkara Gugatan Waris
Para penggugat, yang terdiri dari penggugat I, II dan III mengajukan gugatan atas sebidang tanah yang berdiri di atasnya sebuah bangunan rumah permanen dst.., yang dikuasai oleh seorang tergugat.
Posita Gugatan:
a. Para penggugat mendalilkan bahwa harta benda obyek sengketa tersebut milik almarhum mantan suami penggugat I atau milik ayah dari penggugat II dan III (pewaris);
b. Harta obyek sengketa diperoleh Penggugat I dengan pewaris selama dalam ikatan perkawinan yang sah. (harta bersama);
c. Tergugat mengusai harta obyek sengketa tanpa alas hak yang sah atau secara melawan hukum.
Petitum Gugatan: antara lain berbunyi:
Primair :
1. Menerima dan mengabulkan gugatan penggugat;
2. Menetapkan harta obyek sengketa adalah harta bersama antara pewaris dengan penggugat I;
3. Menetapkan setengah bagian dari harta bersama tersebut adalah milik pewaris dan setengah bagian lagi milik penggugat I;
4. Menetapkan penggugat I, II dan III sebagai ahli waris yang sah dari pewaris dan menentukan bagian masing-masing ahli waris;
Subsidair : Mohon keputusan yang seadil-adilnya ;
Dalam jawabannya tergugat membantah seluruh dalil gugatan para penggugat. tergugat mendalilkan bahwa ia mengusai obyek sengketa berdasarkan alas hak yang sah, yaitu memperoleh harta peninggalan dari almarhum suaminya (pewaris). Menurut tergugat, sebelum almarhum (pewaris) menikah dengannya, ia telah bercerai dengan penggugat I, bahkan ketika pewaris sakit sampai meninggal berada di bawah perawatan tergugat. Tergugat mohon agar majlis hakim menolak gugatan penggugat.
Dalam persidangan terungkap fakta bahwa:
1. Penggugat I belum pernah bercerai dengan almarhum/pewaris sampai pewaris meninggal dunia.
2. Tergugat memiliki bukti yang sah atas pernikahannya dengan pewaris berupa buku kutipan akta nikah dari KUA.
3. Harta obyek sengketa diperoleh pewaris bersama penggugat I sebelum pewaris menikah dengan tergugat.
4. Tergugat telah melahirkan seorang anak laki-laki hasil perkawinan dengan pewaris.
5. Perkawinan pewaris dengan penggugat I maupun dengan tergugat terjadi sebelum berlakukanya Undang-Undang Nomor 01 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dalam kasus ini majlis hakim menyatakan petitum primair penggugat tidak dapat diterima (niet ontvenkelijke verklaard) dan majlis memutus perkara ini berdasarkan petitum subsidair mohon keputusan yang seadil-adilnya ( ex auquo et bono). Pertimbangan hukum majlis hakim, antara lain:
a. Bila berpegang pada petitum primair, berdasarkan fakta yang diperoleh di persidangan gugatan in casu kurang pihak (plurium litis consortium) karena tergugat telah memiliki seorang anak laki-laki hasil perkawinan dengan pewaris.
b. Untuk memenuhi azas keadilan dan kemanfaatan serta azas sederhana, cepat dan biaya ringan majlis menetapkan ahli waris disamping para penggugat dan tergugat, juga anak laki-laki pewaris hasil perkawinannya dengan tergugat;
Penulis mencatat bahwa penerapan petitum subsidair dalam dua kasus tersebut di atas bila dilihat dari sisi kepastian hukum bisa dikatakan merupakan implementasi cara perfikir ”progresif”, karena dalam kasus pertama dari gugatan pembatalan nikah menjadi putusan perceraian dan dalam gugatan kedua yang lazimnya di NO karena kurang pihak bisa diselesaiakan dengan baik. Namun dari sisi keadilan hukum dan kemanfaatan bisa disebut cara berfikir ”dinamis”. Dalam pengertian penyelesaian perkara tetap berpijak pada posita gugatan penggugat dan putusan yang dihasilkan dapat memberi kepuasan (keadilan) dan kemanfaatan bagi kedua belah pihak yang berperkara.
----------------
Referensi Bacaan :
1. Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH. Hukum Acara Perdata Indonesia, Jogjakarta: Liberty, Tahun 1998;
2. Drs. H. Abdul Manan, SH, Sip M.Hum. Penerapan Hukum Acara Perdata Dilingkungan Peradilan Agama, Jakarta :Yayasan Al- Hikmah, 2001
3. ______________, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Cetakan Pertama, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2006.
4. Ditbinpapera Islam. Himpunan Peraturan Perundang- Undangan Dallam Lingkungan Peradilan Agama, Tahun 2001;
5. Prof. Dr. Bagir Manan, SH. MCl. Menjadi Hakim Yang Baik, ”Varia Peradilan”, XXII No. 55 Pebruari 2007.
6. M. Yahya Harahap, S.H, Kedudukan, Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama (UU No, 07 Tahun 1989), Edisi Kedua, Jakarta : Sinar Grafika, 2007.
7. Prof R . Subekti, S.H dan R. Tjitrosoedibio. Kamus Hukum, Jakarta: PT Pradya Paramita, 1989
8. Prof Moeljatno. Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksaraa.
9. Undang-Undang Nomor 04 Tahun 2004 tentang Kekuasasaan Kehakiman ;
10. Undang-Undang Nomor 03 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama Undang-Undang Nomor 07 Tahun 1989 tentang PA;
11. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 07 Tahun 1989 tentang PA;