Mencermati Template Putusan Badilag
Mencermati Template Putusan Badilag
Oleh: H. A. Zahri, S.H, M. HI
(Ketua Pengadilan Agama Polewali)
A. Iftitah
Seiring dengan kemajuan tehnologi informasi dan komunikasi pekerjaan yang berkaitan dengan pengolahan data semakin mudah, terlebih jika suatu instansi atau lembaga berinovasi tiada henti seperti jargon Suzuki. Benar apa yang sering digaungkan Kiai Sejuta Umat, Allah yarham Zainuddin MZ., bahwa dengan tehnologi hidup jadi mudah, dengan seni hidup jadi indah dan dengan agama hidup jadi berkah.
Kemudahan bekerja berkat information technologi (IT) telah dirasakan juga oleh warga Peradilan Agama. Banyak aplikasi yang lahir hasil kerja keras tenaga terampil jajaran Peradilan Agama, sebut saja SIADPA Plus yang pelan-pelan dan pasti mulai ditinggal dan beralih ke SIPP, mulai versi 311,312 dan 313, 314 dan terakhir 315. Simpeg yang berubah jadi Sikep dan aplikasi lain yang berskala nasional. Disamping itu, juga bertebaran inovasi di masing-masing Satker: SMS Gatway, Arsip Digital, Audio to Text Recording (ATR) dsb, baik kehadirannya atas dorongan dari pusat karena dilombakan maupun murni karena kebutuhan riil dalam rangka penyelesaian tupoksi.
Untuk memenuhi kebutuhan konten atau menu sebuah aplikasi sehingga aplikasi kaya manfaat, wabil khusus aplikasi yang dirancang bekerja di ranah hukum, dibutuhkan olahan atau formula yang memenuhi syarat yuridis, logis tetapi tetap aplikatif. Beberapa menu aplikasi untuk hidangan SIADPA Plus yang berbasis desktop/laptop dan terbuka untuk dimodifikasi telah diperkaya dengan format/template/master blanko atau apapun namanya dalam rangka standarisasi sesuai produk yang diluncurkan Badilag antara lain: standarisasi formulir, standarisasi format BAS dan putusan, baik tingkat pertama, banding maupun kasasi dll.
Maksud utama standarisasi berbagai blangko, formulir, format/pola/template BAS, putusan dsb. adalah untuk mempermudah dan mempercepat penyelesaian pekerjaan serta yang tidak kalah pentingnya adalah dalam rangka upaya meminimalisir disparitas yang selama ini terjadi antara Peradilan Agama yang satu dengan lainnya.
Meskipun Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) telah mnenggantikan SIADPA, namun dalam hal menu pengolah data masih terbatas, belum tersedia menu yang selama ini telah memudahkan kita dalam pembuatan BAS dan putusan/penetapan, kenyamanan bekerja dengan SIADPA belum sepenuhnya tergantikan dengan kehadiran SIPP walaupun SIPP punya kelebihan dibanding SIADPA, khususnya dalam hal koneksitas data. Dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing kiranya SIADPA dan SIPP bisa berjalan beriringan untuk saling melengkapi sampai suatu ketika SIPP benar-benar menjadi aplikasi pengolah data elektronik yang memudahkan, menyatukan dan memiliki legitimasi.
Tulisan ini mencoba membahas hal-ikhwal yang berkenaan dengan standar format (baca template) putusan Badilag, mulai latar belakang peluncurannya, struktur dan keselarasannya dengan langkah-langkah hakim dalam memeriksa dan mememutus perkara serta hukum penalaran dan penalaran hukum yang mendasarinya.
B. Latar Belakang Peluncuran Template Putusan Badilag
Dalam upaya meningkatkan kualitas SDM, khususnya di bidang teknis yustisial, Badilag telah me-launching standar format BAS dan putusan melalui website-nya yang kemudian diikuti penerbitan softcopy (buku). Upaya tersebut dilatarbelakangi adanya temuan/fakta bahwa berita acara sidang dan template/format putusan Pengadilan Agama masih bervariasi dan belum terstandar. Keragaman ini terjadi antara satu produk Pengadilan Agama dengan Pengadilan Agama lain meskipun dalam jenis perkara yang sama, baik pada teknik penulisan BAS dan format putusan, maupun subtansinya.
Proses pembuatan Standar Format BAS dan Putusan tersebut dilakukan secara bertahap dan melibatkan hampir semua stakeholder: Ketua PTA, Wakil Ketua PTA, Hakim Tinggi, Ketua PA, Hakim Tingkat Pertama, Pansek PTA, dan Panitera Pengganti. Diawali inventarisasi permasalahan dan pembuatan naskah akademik oleh Direktorat Pembinaan Administrasi Peradilan Agama Ditjen Badilag MA RI, kemudian konsultasi, pembahasan dan pengkajian oleh Tim Penyusun Standarisai BAS dan Putusan. Naskah akademik selanjutnya disampaikan kebagian pengadaan untuk dicetak menjadi buku dan dikirimkan keseluruh Mahkamah Syar’iyah/Pengadilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah Aceh/ Pengadilan Tinggi Agama di Indonesia.
Setelah disahkan oleh Ketua Kamar Agama MARI, diluncurkan dalam website dan dicetak dalam bentuk buku, tentu saja dimaksudkan untuk dapat dijadikan pedoman dalam upaya mengatasi hambatan, mempermudah aparatur fungsional dalam proses penyelesaian perkara dan ke depan diharapkan dapat melahirkan putusan pengadilan yang semakin baik, bermutu, dan kualified. Disamping itu terbitnya BAS dan Format Putusan ini dalam rangka mengeliminir disparitas antara aparatur pengadilan dan antara satu Pengadilan Agama dengan Pengadilan Agama lainnya.
C. Struktur Template Putusan Badilag
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia salah satu arti struktur adalah sesuatu yang disusun dengan pola tertentu. Template arti harfiahnya adalah pola, sementara template dari sisi istilah mengandung beragam makna sesuai penggunaannya. Istilah template sangat familier di dunia program computer atau internet, apalagi bagi para netter yang biasa berkelana di dunia maya, setiap kali mereka browsing mencari situs tertentu pasti mereka akan menemui template, yang berbentuk desain web tertentu. Dalam software template adalah fasilitas yang disediakan oleh aplikasi tertentu dengan model/type tampilan/program tertentu. Contohnya MS. Word templatenya adalah berbagai bentuk surat, Ms. Exel templatenya adalah berbagai bentuk nota atau biling, dreamweaver templatenya berbentuk halaman html atau php. Sementara itu dalam dunia internet, template adalah layout atau tampilan webblog, atau website yang akan dirancang, atau sebuah desain tampilan halaman dengan berisikan dokumen file model-model tambahan yang dikodekan dalam bahasa program dan siap pakai.
Setelah membaca berbagai sumber, penulis bersesimpulan bahwa istilah template dalam putusan hakim diartikan struktur kerangka halaman putusan/penetapan yang disimpan secara elektronik di program komputer dan dijadikan bahan acuan dalam pembuatan putusan/penetapan dalam upaya standarisasi.
Putusan ialah suatu pernyataan oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu dan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum dengan tujuan untuk menyelesaikan suatu perkara gugatan atau sengketa antara pihak yang berperkara (contentiosa). Penetapan sama seperti definisi diatas hanya saja perkara yang diselesaikan adalah perkara permohonan atau tanpa ada sengketa para pihak (voluntair). Sedangkan akta perdamaian adalah akta yang dibuat oleh hakim yang berisi hasil musyawarah antara para pihak untuk mengakhiri sengketa dan berlaku sebagai putusan.
Putusan/penetapan pengadilan, termasuk Pengadilan Agama lazimnya terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian pertama; identitas para pihak dan kedudukanya masing-masing, kedua; duduk perkara dan ketiga; pertimbangan hukum. Bagian terpenting dari putusan adalah tentang hukumnya/pertimbangan hukum, karena pada bagian ini tergambar hukum penalaran dan penalaran hukum yang dapakai oleh hakim. Kapabilitas hakim/majelis hakim dipertaruhkan, atau dengan kata lain kualitas keilmuan dan skill hakim sebagai praktisi hukum terekam disini. Apakah dalam mengambil keputusan sudah menggunakan hukum penalaran dan penalaran hukum yang dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis dan logis atau tidak? Jika hukum penalaran dan penalaran hukum yang digunakan sudah tepat tentu akan menghasil output berupa putusan yang benar dan berkualitas.
Sebuah template putusan yang berkualitas tentu harus menggambarkan atau memberi ruang terhadap alur peristiwa secara kronologis dan alur pikir yang logis dan yuridis. Pada bagian identitas dan duduk perkara template putusan Badilag hampir tidak ada perbedaan dengan putusan yang selama ini dibuat oleh para hakim di Pengadilan Agama dan pada bagian ini memang putusan Pengadilan Agama nyaris tanpa perbedaan sejak dulu, jikapun ada perbedaan bukan hal yang subtansial. Disparitas putusan Pengadilan Agama yang menonjol ada pada bagian ketiga tentang pertimbangan hukum. Pada bagian ini masing-masing hakim memiliki struktur dan gaya yang berbeda tergantung pengetahuan hukum, wawasan keilmuan lainya dan jam terbang masing-masing hakim. Kehadiran template Badilag seharusnya menjadi refrensi/rujukan utama para hakim sehingga disparitas putusan bisa diminimalisir. Agar lebih mantap menggunakan template dimaksud, kiranya perlu dicermati atau diidentifikasi beberapa item sebagai berikut:
1. Menguji alat bukti para pihak dari sisi formal dan materiil;
2. Merumuskan fakta-fakta kejadian berdasarkan alat bukti yang telah diuji;
3. Merumuskan fakta-fakta hukum berdasarkan fakta kejadian;
4. Mengemukakan norma hukum yang sejalan dengan fakta hukum;
Keempat hal tersebut akan dijelaskan keselarasannya dengan langkah-langkah hakim dalam memeriksa dan memutus perkara sebagai tugas utamanya.
D. Menentukan Pokok Sengketa
Sebelum menguji alat bukti yang lazim dilakukan oleh hakim adalah menentukan pokok sengketa. Pokok sengketa diambil dari gugatan penggugat, jawaban tergugat, replik dan duplik. Setelah tahap jawab-menjawab usai hakim harus sudah dapat merumuskan peristiwa konkret apa yang menjadi pokok sengketa kedua belah pihak. Dalam merumuskan pokok sengketa tidak boleh salah karena jika salah akan mengakibatkan langkah selanjutnya juga salah. Setelah pokok sengketa dirumuskan baru beban pembuktian dapat ditentukan dan alat bukti yang diajukan diuji satu persatu. Namun bila kita membuka template putusan Badilag dalam pertimbangan hukumnya seperti tidak ditemukan ruang dimana kita meletakkan rumusan pokok sengketa. Perhatikan rumusan di bawah ini yang dikutip dari Template dimaksud!
PERTIMBANGAN HUKUM
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat adalah sebagaimana telah diuraikan di atas;
Menimbang, bahwa dalil-dalil gugatan Penggugat adalah sebagai berikut:
1. ……………………………………………………………………………………….;
2. ……………………………………………………………………………………….;dst
Menimbang, bahwa terhadap dalil-dalil Penggugat, Tergugat telah memberikan pengakuan murni atas dalil gugatan angka .......,......., sehingga dalil tersebut dinyatakan telah terbukti;
Menimbang, bahwa Tergugat memberikan pengakuan berklausul/pengakuan berkualifikasi/membantah dalil-dalil angka .......,......., dan ......., oleh karena itu Penggugat wajib membuktikan dalil tersebut;
Menimbang, bahwa untuk membuktikan dalil angka .......,......., dan ......., Penggugat telah mengajukan alat bukti surat P.1, P.2 dst ....serta ...... orang saksi;
Dimana ditempatkan rumusan pokok sengketa, apakah setelah pengakuan murni atau pengakuan berklausul/berkualifikasi atau setelah bantahan Tergugat? Jawabnya tentu setelah pengakuan murni karena pengakuan berklausul/berkualifikasi dan bantahan menimbulkan pokok sengketa. Contoh dalam perkara waris:
Menimbang, bahwa Tergugat memberikan pengakuan berkualifikasi terhadap dalil Penggugat angka 3 tersebut di atas, yakni Tergugat membenarkan keberadaan harta objek 3.a, 3.b dan 3.c serta asal-usulnya, kecuali asal-usul harta objek 3.a, yang menurut Tergugat, harta obyek 3.a dibeli oleh Pewaris 6 bulan setelah bercerai dengan istrinya;
Menimbang, bahwa dengan bantahan Tergugat dalam hal ini muncul pokok sengketa pertama, yakni tentang asal-usul tanah objek 3.a, apakah tanah objek 3.a dibeli Pewaris dengan istrinya atau dibeli Pewaris setelah bercerai dengan istrinya?
Dari contoh di atas, sulit kiranya kita merumuskan pokok sengketa secara kolektif dari seluruh dalil gugatan dan jawaban sebagaimana yang selama ini lazim kita lakukan.
E. Mengkonstantir dan Mengkualifisir Dalil_Dalil Para Pihak
Setelah dirumuskan pokok sengketa maka langkah berikutnya adalah mengkonstantir dan mengkualifisir atau menguji dan memilah-milah peristiwa yang dikemukakan para pihak yang terkait dengan pokok sengketa melalui alat-alat bukti yeng telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, kemudian dianalisa sedemikian rupa sehingga diperoleh fakta kejadian yang benar yang bersifat tetap dan fakta kejadian yang tidak benar.
Template putusan Badilag meniscayakan hakim menilai alat bukti secara sistematis satu persatu, baik bukti surat maupun bukti saksi. Alat bukti dinilai keabsahanya secara formal dan kesahihannya secara materiil. Bukti surat (akta otentik) dinyatakan memenuhi syarat formil apabila sesuai aslinya, bermaterei cukup, dibuat oleh pejabat yang berwenang, dan memenuhi syarat materiil jika bukti tersebut relevan dengan dalil yang harus dibuktikan. Bukti saksi memenuhi syarat formil jika telah dewasa (di atas 15 tahun), telah disumpah dan dalam kasus non perceraian tidak ada hubungan keluarga dan hubungan kerja dengan pihak, dan dianggap memenuhi syarat materiil jika keterangan saksi adalah fakta yang dilihat/didengar/dirasakan sendiri serta relevan dengan dalil yang harus dibuktikan. Perhatikan rumusan di bawah ini yang dikutip dari Template putusan badilag!
Menimbang, bahwa bukti P-1 (Fotokopi Kutipan Akta Nikah) yang merupakan akta otentik dan telah bermeterai cukup dan cocok dengan aslinya, isi bukti tersebut menjelaskan mengenai Penggugat dan Tergugat telah melangsungkan perkawinan pada tanggal ………….. tercatat di Kantor Urusan Agama ………. Kecamatan …………... Bukti tersebut tidak dibantah oleh Tergugat Konvensi, sehingga bukti tersebut telah memenuhi syarat formal dan materiil, serta mempunyai kekuatan yang sempurna dan mengikat;
Menimbang, bahwa saksi 1 Penggugat Konvensi, sudah dewasa dan sudah disumpah, sehingga memenuhi syarat formal sebagaimana diatur dalam Pasal 145 ayat 1 angka 3e HIR/Pasal 172 ayat 1 angka 4 R.Bg.;
Menimbang, bahwa keterangan saksi 1 Penggugat Konvensi mengenai angka ……..., adalah fakta yang dilihat sendiri/didengar sendiri/dialami sendiri dan relevan dengan dalil yang harus dibuktikan oleh Penggugat Konvensi, oleh karena itu keterangan saksi tersebut telah memenuhi syarat materiil sebagaimana telah diatur dalam Pasal 171 HIR/Pasal 308 R.Bg. sehingga keterangan saksi tersebut memiliki kekuatan pembuktian dan dapat diterima sebagai alat bukti;
Dari format template tersebut muncul pertanyaan, dimana diletakkan uraian tentang bukti persangkaan hakim dan sumpah? Kemudian kapan bukti tersebut dianalisa untuk menghasilkan fakta yang benar/konkret? Jawabnya, bukti persangkaan hakim dan sumpah tentu setelah bukti surat dan saksi bila memang semua alat bukti diajukan dalam kasus yang diperiksa. Menurut hemat penulis analisa alat bukti dengan tiga kekuatannya, yakni: mengikat, sempurna dan menentukan, meskipun dalam template dimaksud tidak secara terang disediakan ruang sudah barang tentu setelah pengujian alat bukti sebelum rumusan fakta kejadian yang konkret/benar. Contoh:
Menimbang, bahwa meskipun bukti-bukti tertulis dari Tergugat III dan Turut Tergugat yang tidak dikesampingkan tersebut di atas (T.1, T.2, T.4, T.5, T.6, T.9, T.10, T.11, T.12) bukan akta otentik tentang akad hibah objek A, namun jika dihubungkan satu dengan yang lain menjadi saling menguatkan sehinga melahirkan persangkaan hakim bahwa Pewaris sebagai pemilik harta yang sah atas objek A telah menghibahkan hartanya tersebut kepada Tergugat III dan Turut Tergugat;
Menimbang, bahwa hibah Perwaris terhadap Tergugat III dan Turut Tergugat yang menurut keterangan saksi 1 dan saksi 5 Tergugat III dan Turut Tergugat bahwa Pewarsi setelah bercerai dengan istri pertama maupun dengan istri kedua di masa tuanya sampai meninggal dunia dipelihara oleh Tergugat III dan meninggal di tempat kediaman Tergugat III. Menurut hukum adat di Indonesia, termasuk di Kabupaten ….. bahwa anak yang memelihara orang tua di masa tua sampai orang tua meninggal bersamanya akan mendapat tanah dan rumah yang ditempati orang tuanya tersebut, maka dengan fakta hukum adat tersebut semakin memperkuat persangkaan hakim tentang hibah atas objek A oleh Pewaris kepada Tergugat III dan Turut Tergugat;
Menimbang, bahwa berdasarkan persangkaan hakim tersebut di atas diperkuat dengan keterangan saksi-saksi Tergugat III dan Turut Tergugat dapat diperoleh fakta konkret adanya hibah tanah objek A dari Pewaris kepada Tergugat III dan Turut Tergugat;
F. Menemukan dan Menerapkan Hukum
Setelah fakta yang dianggap benar ditemukan, tugas hakim berikutnya, yang membutuhkan kejelian dan kecermatan adalah mencari dan menemukan hukumnya untuk diterapkan dalam peristiwa konkret tersebut.. Hakim bebas mencari hukum darimana saja, baik dari hukum tertulis (baca: peraturan perundang-undangan) maupun dari hukum tidak tetulis: pendapat para pakar, hukum adat dsb.
Kegiatan ini tidak semudah yang dibayangkan. Untuk menemukan hukumnya guna diterapkan pada peristiwa konkret, peristiwa konkret itu harus diarahkan kepada hukumnya dan hukumnya harus disesuaikan dengan peristiwa yang konkret. Jika peristiwa yang konkret itu telah ditemukan hukumnya, hakim bisa menerapkan hukum tersebut sebagai dasar pertimbangan dalam pembuatan putusan. Penerapan hukum secara langsung biasa diterapkan dalam perkara-perkara atau fakta-fakta konkret yang sederhana. Namun dalam fakta konkret yang kompleks hakim harus mengadakan interpretasi terhadap hukum tersebut. Sekiranya interpretasi tidak dapat dilakukan hakim harus melakukan konstruksi.
Dalam template Badilag peristiwa/fakta konkret yang akan dicarikan hukumnya atau diserasikan dengan norma hukumnya harus diubah (dikualifisir) menjadi fakta hukum. Mengubah atau menyimpulkan fakta konkret menjadi fakta hukum bukanlah pekerjaan yang mudah, diperlukan pemahaman tentang apa itu fakta/peristiwa konkret dan apa itu fakta/peristiwa hukum serta skill dan pengalaman dalam menangani kasus hukum.
Bukan hanya hakim tingkat pertama yang mengalami kesulitan, calon hakim agung-pun demikian. Saat masih menjadi Ketua Komisi Yudisial (KY), Busyro Muqoddas acapkali mengajukan satu pertanyaan kepada para calon hakim agung yang tengah mengikuti seleksi. “Apa perbedaan peristiwa/fakta konkret dan peristiwa/fakta hukum? Dalam versi lain, pertanyaannya berubah menjadi, lebih duluan mana peristiwa/fakta hukum atau peristiwa/fakta konkret?” Kenyataannya, banyak kandidat hakim agung yang tak bisa langsung menjawab pertanyaan Busyro tersebut.
Istilah ‘peristiwa/fakta konkret’ dan ‘peristiwa/fakta hukum’ memang tak ditemukan dalam beberapa kamus hukum, antara lain karya Prof. Subekti dan R. Tjitrosoebeno (1969), JCT Simorangkir dkk (2000). Kamus Hukum karya BN Marbun (2006) hanya menyebut istilah ‘peristiwa’. Kamus Hukum karya Padmo Wahyono malah menyebut frasa ‘peristiwa G.30.S/PKI’. Bahkan kamus hukum terbaru karya Rocky Marbun dkk (2012) juga tak mencantumkan definisi peristiwa konkret dan peristiwa hukum.
Kedua istilah itu biasanya ditemukan dalam literatur yang membahas penemuan hukum oleh hakim. Salah satu literatur yang banyak membahas peristiwa konkret dan peristiwa hukum adalah ‘Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar’ karya Sudikno Mertokusumo. Menurut beliau, penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa konkret. Penemuan hukum adalah konkretisasi, kristalisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkret (das sein). Peristiwa konkret perlu dicarikan hukumnya yang bersifat umum dan abstrak. Peristiwa konkret harus dipertemukan dengan peraturan hukum. Peristiwa konkret harus dihubungkan dengan peraturan hukumnya agar dapat tercakup oleh peraturan hukum itu. Sebaliknya, peraturan hukumnya harus disesuaikan dengan peristiwa konkretnya agar dapat diterapkan.
Setelah peristiwa konkret dikonstatasi atau dinyatakan terbukti, maka peristiwa konkret itu harus dicarikan peraturan hukumnya. Peristiwa konkret yang telah terbukti harus diterjemahkan ke dalam bahasa hukum. Jadi, apa yang dilakukan hakim di persidangan adalah mengkonstatasi peristiwa konkret. Lalu, majelis hakim merumuskan dan mengkualifikasi peristiwa konkret itu, dan itu berarti hakim menetapkan peristiwa hukum. Jadi peristiwa/fakta konkret harus dijadikan peristiwa/fakta hukum lebih dahulu sebelum peraturan hukumnya dapat diterapkan, karena peraturan hukum hanya bisa diterapkan terhadap peristiwa/fakta hukum, bukan peristiwa/fakta konkret. Madzhab inilah yang dianut oleh template putusan Badilag, sebagaimana kutipan rumusan di bawah ini.
Menimbang, bahwa berdasarkan pengakuan Tergugat Konvensi, bukti P.1, P. 3, Saksi 1 dan Saksi 2 terbukti fakta-fakta sebagai berikut:
1. ……………………………………………………………………………………….;
2. ……………………………………………………………………………………….;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas dapat disimpulkan fakta hukum sebagai berikut :
1. ……………………………………………………………………………………….;
2. ……………………………………………………………………………………….;
Menimbang, bahwa fakta hukum tersebut telah memenuhi norma hukum Islam yang terkandung dalam :
1. Al-quran ……………………
2. Al Hadis …………………. dan
3. Kaidah fikih …………………….;
Menimbang, bahwa fakta hukum tersebut telah juga memenuhi Pasal ……… Undang-Undang Nomor ………… jo. Pasal …………….. Kompilasi Hukum Islam;
Untuk mengubah fakta konkret menjadi fakta hukum adalah dengan berpijak pada kriteria atau batasan, batasan dalam lapangan hukum tidak mudah dirumuskan, namun menurut pembacaan penulis dari berbagai sumber secara simple dapat dikatakan bahwa fakta hukum adalah fakta yang berakibat hukum ( akibatnya diatur oleh hukum) atau fakta yang menimbulkan hak dan kewajiban. Sementara fakta yang bukan fakta hukum atau fakta biasa adalah fakta yang tidak berakibat hukum.
Yang sering terjadi adalah fakta yang telah dikonstatir sudah merupakan fakta hukum sehinga apabila harus diberi nomenklatur fakta hukum sebenarnya hanya pengulangan penulisan saja. Dua ruang yang tersedia dalam templet dimaksudkan jangan sampai ada fakta yang bukan fakta hukum di carikan hukumnya/norma hukumnya sehingga menimbulkan kesalahan dalam pengambilam keputusan. Beberapa contoh berikut mungkin sesuai yang dimasud template di atas:
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P, Saksi 1 dan Saksi 2 terbukti fakta kejadian sebagai berikut:
- Bahwa antara Penggugat dan Tergugat telah berselisih dan bertengkar terus-menerus dalam kurun waktu Januari 2014 sampai Akhir April 2014 dan telah pisah tempat tinggal selama 1, 5 tahun;
- Bahwa perselisihan dan pertengkaran antara Penggugat dan Tergugat disebabkan Tergugat malas bekerja, jarang memberi nafkah dan telah menjalin asmara dengan wanita lain;
- Bahwa selama Penggugat dan Tergugat berpisah tempat tinggal, tidak ada lagi komunikasi antara Penggugat dan Tergugat;
- Bahwa antara Penggugat dan Tergugat telah dirukunkan, akan tetapi tidak berhasil;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas dapat disimpulkan fakta-fakta hukum sebagai berikut:
- Bahwa rumah tangga Penggugat dengan Tergugat benar-benar telah pecah (Broken Mariage) dan tidak ada harapan untuk dipertahankan lagi;
- Bahwa perselisihan dan pertengkaran tersebut telah merusak kerukunan rumah tangga Penggugat dan Tergugat sehingga tidak lagi sesuai dengan tujuan perkawinan;
G. Pengambilan Keputusan.
Setelah fakta kokret dan fakta hukum dirumuskan langkah berikutnya adalah mencari dan menemukan norma atau kaidah hukum yang sejalan dengan fakta hukum yang telah dirumuskan tersebut. Apabila norma hukum telah ditemukan dan diterapkan dalam fakta hukum, maka langkah berikutnya adalah menkonstituir atau pengambilan keputusan dan kemudian dirumuskan dalam putusan (teks tertulis).
Menurut H. Taufiq, SH, sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Manan bahwa proses pengambilan keputusan secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:
F X R = C
F = fact atau peristiwa/kejadian.
R = rule atau hukum.
X = operational atau penalaran hukum.
C = Conclusion atau keputusan
Fact Rule Conclusion
True True True
Fault True Fault
True Fault Fault
Fault Fault Fault
Berdasarkan tabel kalkulasi di atas dapat disimpulkan bahwa hasil proses keputusan akan benar apabila fakta, hukum dan penalaran hukumnya benar. Kalau salah satunya salah maka hasilnya pasti salah.
Hukum penalaran dan penalaran hukum harus dikuasai oleh hakim agar tidak salah mengambil konklusi. Dalam proses penerapan hukum secara teknis operasional dapat didekati dengan 2 (dua) cara, yaitu melalui hukum penalaran induksi dan deduksi. Hukum penalaran yang lazim digunakan dalam kasus perdata adalah penalaran induksi, yakni dari fakta-fakta konkret/hukum yang telah dirumuskan dicarikan norma hukum yang berasal dari peraturan perundang-undangan, doktrin, yurisprudensi dll yang bersifat umum yang memenuhi atau meliputi fakta hukum dimaksud. Berbeda dengan kasus pidana yang diawali dari langkah induksi berupa merumuskan fakta-fakta, mencari hubungan sebab akibat, dan mereka-reka probabilitasnya, lalu diikuti dengan penerapan hukum sebagai langkah deduksi, yakni mengidentifikasi unsus-unsur rumusan aturan hukum yang diselaraskan dengan fakta hukum.
Penalaran hukum (legal reasoning) adalah kegiatan berpikir problematis tersistematis (gesystematiseerd probleemdenken) dari subjek hukum (hakim) sebagai makhluk individu dan sosial di dalam lingkaran kebudayaannya. Penalaran hukum dapat didefinisikan sebagai kegiatan berpikir yang bersinggungan dengan pemaknaan hukum yang multiaspek (multidimensional dan multifaset).
Ada beberapa pakar yang menyebutkan langkah-langkah dalam penalaran hukum, salah satunya adalah Shidarta menyebutkan enam langkah utama penalaran hukum, yaitu:
1. Mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu struktur (peta) kasus yang sungguh-sungguh diyakini oleh hakim sebagai kasus yang riil terjadi;
2. Menghubungkan struktur kasus tersebut dengan sumber-sumber hukum yang relevan, sehingga ia dapat menetapkan perbuatan hukum dalam peristilahan yuridis (legal term);
3. Menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung di dalam aturan hukum itu (the policies underlying those rules), sehingga dihasilkan suatu struktur (peta) aturan yang koheren;
4. Menghubungkan struktur aturan dengan struktur kasus;
5. Mencari alternatif-alternatif penyelesaian yang mungkin;
6. Menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk kemudian diformulasikan sebagai putusan akhir.
Penalaran hukum meniscayakan hakim untuk mengerahkan secara optimal kemampuan berfikirnya dengan sungguh-sungguh (ijtihad) guna mengeksplorasi berbagai ragam sumber hukum yang tersedia, baik dalam peraturan perundang-undangan, yurisprudensi maupun doktrin para pakar.
Dalam template putusan Badilag tidak ditentukan secara spesifik dimana ruang yang harus dipakai dalam menuangkan penalaran hukum. Kelanjutan format template sebagai berikut:
Menimbang, bahwa fakta hukum tersebut telah memenuhi norma hukum Islam yang terkandung dalam :
1. Al-quran ……………………
2. Al Hadis …………………. dan
3. Kaidah fikih …………………….;
Menimbang, bahwa fakta hukum tersebut telah juga memenuhi Pasal ……… Undang-Undang Nomor ………… jo. Pasal …………….. Kompilasi Hukum Islam;
Menimbang, bahwa petitum gugatan Penggugat Konvensi angka ….,….., dan …. juga telah memenuhi ketentuan Pasal ....... Undang-Undang Nomor........................jo. Pasal..........Kompilasi Hukum Islam, karenanya dapat dikabulkan;
Hemat penulis yang paling pas meletakkan hasil penalaran atau analisa keterkaitan antara fakta hukum dan norma hukum adalah setelah norma-norma hukum itu dipaparkan secara lengkap. Jika analisanya tajam dan mengena maka putusan itu memiliki kualitas yang tinggi, sebaliknya manakala tanpa analisa atau analisa dangkal dan kurang tepat sasaran bisa disebut putusan kurang pertimbangan atau putusan sumir. Sekilas contoh:
Menimbang, bahwa fakta hukum tersebut sejalan dengan dalil-dalil syar’i antara lain:
1. Firman Allah Swt (Q.S An-Nuur : 32 ) berbunyi sebagai berikut:
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya “ dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.
2. Sabda Rasulullah Saw hadits dari Anas RA ( HR. Thabrani)
اذاتزوج العبد فقد استكمل نصف الدين فليتق الله النصف الباقى
Artinya “Apabila seorang hamba telah menikah, berarti dia telah menyempurnakan separuh agamanya, maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah pada separuh sisanya”
3. Kaidah fikiyah yang selanjutnya diambil alih sebagai pendapat majelis yang berbunyi:
درا امفاسد مقدم على جلب المصالح
Artinya “ Menolak kerusakan (kemudharatan) didahulukan daripada mengambil kemashlahatan”
Menimbang, bahwa fakta hukum tersebut di atas selaras pula dengan subtansi maksud pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang dipertegas pada pasal 15 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 tahun, hal ini bila dilihat dari penjelasannya maka dapat disimpulkan bahwa pembatasan usia perkawinan dimaksud untuk memenuhi kemaslahatan kesehatan suami istri dan keturunannya;
Menimbang, bahwa dengan berdasar kepada pasal 7 ayat (2) bila terjadi penyimpangan terhadap pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, maka dapat dimintakan dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita, dengan demikian pembatasan usia dalam perkawinan bukan merupakan syarat mutlak dalam aplikasinya;
Menimbang, bahwa Majelis Hakim berpendapt bahwa salah satu syarat perkawinan bagi pihak mempelai adalah baligh, sementara usia baligh bagi anak laki-laki dan usia baligh bagi anak perempuan memiliki perbedaan, baik dari segi fisik maupun non fisik;
Menimbang, bahwa mengenai umur anak Pemohon secara hukum belum cukup umur atau dewasa, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa dalam konsep Agama Islam dan Hukum Adat ukuran dewasa tidak diukur dari umur seseorang semata melainkan dilihat juga dari perubahan prilaku dan fisiknya. Menurut konsep Agama Islam tanda-tanda seseorang menjadi dewasa “Bagi laki-laki ditandai dengan “mimpi basah”, dan beberapa ciri lain yang menyertainya, sedangkan pada wanita, kedewasaan itu ditandai dengan keluarnya darah haid”. Menurut konsep hukum adat “Apabila kedewasaan itu dihubungkan dengan perbuatan kawin, hukum adat mengakui kenyataan bahwa apabila seorang pria dan seorang wanita itu kawin dan dapat anak mereka dinyatakan dewasa, walaupun umur mereka kurang 16 tahun bagi wanita dan kurang 19 tahun bagi pria, sebaliknya apabila mereka dikawinkan tidak dapat menghasilkan anak karena belum mampu melakukan hubungan seksual, mereka dikatakan belum dewasa”.;
Menimbang, bahwa bertitik tolak dari hal tersebut, meskipun anak Pemohon sekarang baru berumur 16 namun telah mimpi basah maka hal ini menjadi indikasi kuat bahwa alat reproduksinya telah siap dan apabila hal ini digunakan hal-hal tidak sewajarnya kemudian melahirkan keturunan maka tentu hal tersebut menjadi aib dan mudharat bagi pihak anak tersebut dan keluarganya dengan demikian kemudaratan itu harus dihilangkan;
Menimbang, bahwa mengenai konsep Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 6 dan 7 ayat (1) dan ayat (2) umur minimal untuk diizinkan melangsungkan perkawinan, yaitu pria 19 tahun dan wanita 16 tahun, apabila hal tersebut dihubungkan dengan salah satu tujuan perkawinan yaitu untuk memperoleh atau meneruskan keturunan, maka anak Pemohon dapat dianggap memenuhi syarat untuk menikah dengan calon isterinya;
Menimbang, bahwa anak Pemohon dengan calon istrinya tidak ada halangan syar’i untuk menikah dan anak Pemohon dipandang mampu untuk memberikan nafkah keluarga oleh karena itu Majelis Hakim berpendapat perkawinan anak Pemohon dengan calon isterinya dapat segera dilakukan;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, Majelis Hakim berpendapat petitum permohonan Pemohon angka 2 dapat dikabulkan;
Tehnik penulisan/penyusunan putusan sudah banyak ditulis oleh para pakar, yang pada pokoknya mereka menggariskan bahwa dalam pertimbangan hukum harus mencantumkan pasal peraturan perundang-undangan dan atau sumber hukum lainya. Hal tersebut sejalan dengan bunyi pasal 50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu: “Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.” Namun yang menjadi perbedaan dalam praktek di Pengadilan Agama adalah mana yang terdahulu dan yang kemudian antara peraturang perundang-undangan (baca hukum tertulis) dan hukum tidak tertulis, termasuk Hujjah Syar’iyah.
Bapak Abdul Manan dalam bukunya, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, menjelaskan: “Setelah hal-hal tersebut dipertimbangkan satu persatu secara kronologis, kemudian barulah ditulis dalil-dalil hukum Syara’ yang menjadi sandaran pertimbanganya. Sebaiknya diutamakan dalil yang bersumber dari Al Quran dan As Sunah, baru pendapat para ulama yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih. Dalil-dalil tersebut disinkronkan satu dengan yang lain agar ada hubungan hukum dengan perkara yang disidangkan. Dalam pertimbangan hukum juga dimuat pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dari putusan itu”.
Dari penjelasan di atas dapat ditangkap kesan bahwa dalam pertimbangan hukum putusan, pencantuman sumber hukum Hujjah Syar’iyah didahulukan baru kemudian peraturan perundang-undangan. Hujjah Syar’iyahpun berjenjang dari Al Qur’an, As Sunah, kemudian pendapat para fuqoha’. Pendapat seperti ini banyak dianut oleh Hakim Pengadilan Agama dengan argumentasi bahwa Hujjah Syar’iyah, khususnya Al Qur’an dan As Sunnah adalah bersumber dari wahyu Allah, sementara peraturan perundang-undangan adalah ciptaan manusia, tentu lebih tinggi kedudukan wahyu daripada pikiraan manusia.
Hal berbeda menyatakan bahwa pencantuman Hujjah Syar’iyah harus dikemudiankan setelah pencantuman peraturan perundang-undangan dengan alasan bahwa Hukum Islam adalah merupakan subsistem Hukum Nasional dan Hukium Nasional kita berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bukan Syari’at Islam.
Mencermati perbedaan tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa apabila ditinjau dari ranah idiologi sudah pasti wahyu Allah lebih tinggi kedudukannya dari pada hasil pemikiran manusia. Namun yang menjadi persoalan adalah bahwa putusan hakim/pengadilan adalah putusan lembaga negara dimana lembaga negara terikat pada suatu sistem kenegaraan atau sistem konstitusi. Berdasarkan konstitusi itulah lahir sistem hukum Nasional yang dalam proses pembangunanya tidak bisa lepas dari aspek filosofis, historis dan sosiologis bangsa Indonesia. Atau dengan kata lain sistem hukum Nasional bersumber dari hukum yang hidup di masyarakat, diantaranya hukum Islam. Dengan demikian hukum Islam adalah merupakan salah satu bahan pembentukan hukum Nasional atau menjadi subsisten hukum Nasional.
Karena hukum Islam merupakan subsistem hukum Nasional dan sistem hukum Nasional kita sangat dipengaruhi oleh hukum warisan Belanda yang bercorak Eropa Kontinental maka konsekwensi logis dalam mengambil dan mengaplikasikan sumber hukum yang diutamakan adalah hukum tertulis baru kemudian hukum tidak tertulis. Hujjah Syar’iyah bukanlah hukum tertulis, oleh karenanya wajar bila dalam sistematika penulisan putusan hakim yang dalam suatu fakta konkrit membutuhkan beberapa dasar hukum didahulukan peraturan perundang-undangan daripada Hujjah Syar’iyah, tanpa menggugurkan suatu keyakinan bahwa wahyu Allah swt.lebih tinggi daripada pikiran manusia.
Sekali lagi, sesungguhnya yang subtansial bukan mana yang didahulukan dan mana yang kemudian, namun sumber hukum mana yang paling sesuai dengan fakta kejadian yang telah dikonstantir dan dikualifisisr oleh hakim. Kiranya template putusan Badilag yang mendahulukan Hujjah Syar’iyah dari peraturan perundang-undangan merupakan keunikan produk Pemgadilan Agama yang patut dipedomani.
H. Kesimpulan dan Saran
Setelah kita lakukan pencermatan terhadap template putusan Badilag secara koronologis dihubungkan dengan langkah-langka hakim dalam memeriksa dan memutus perkara dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa template telah memenuhi struktur legal formal sebuah kerangka putusan sesuai dengan peraturan perundang-undangan: kepala putusan, identitas para pihak, duduk perkara dan pertimbangan hukum;
2. Bahwa template memiliki sistematika yang sejalan dengan langkah-langkah hakim dalam memeriksa dan memutus perkara sehingga dapat dijadikan panduan menyusun putusan secara bertahap;
3. Bahwa template dalam menghadirkan pertimbangan hukum menggunakan hukum penalaran dan penalaran hukum yang tidak rumit: fakta kejadian yang dihadirkan para pihak dikonstatir sehingga diperoleh fakta konkret, fakta konkret dikualifisir menjadi fakta hukum dan fakta hukum dicarikan norma hukum yang selaras. Jika fakta konkret, fakta hukum serta norma hukum sudah selaras lahirlah konklusi;
4. Bahwa dalam kasus yang rumit template hanya sebagai panduan agar putusan tidak cacat fisik dan mental;
Sering disinyalir oleh para hakim pengawas maupun oleh hakim agung bahwa belakangan ini ada penurunan kualitas dalam beracara, baik di tingkat pertama maupun banding, diduga karena para hakim kurang menguasai hukum acara. Hukum acara yang merupakan hukum publik sering dilanggar oleh para hakim sehingga menghadirkan putusan yang bermasalah. Sekait hal tersebut, hendaknya Mahkamah Agung atau Pengadilan Tingkat Banding menggalakkan pembinaan, pelatihan, diskusi yang berkaitan dengan teknis yustisial kepada para hakim dan panitera pengganti. Wallahu ‘alam bi shawab.
Bahan Bacaan :
1. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, cet.IV
2. Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Yayasan Al-Hikmah, Jakarta, 2001, cet. 2.
3. Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana Preda Media, Jakarta 2006
4. Mertokusomo, Sudikno, Penemuan Hukum Suatu Pengantar, Cetakan Ke 7, Liberty, Yogyakarta, 2009.
5. Shidarta, “Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan”, . Disertasi, Universitas Katolik Parahyangan, 2004.
6. Mahkamah Agung RI Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan di Lingkunagn Peradilan Agama, 2015.
7. www.badilag.net, Satandar Format BAS dan Putusan, 2014.
8. www.hukumonline.com , Dari Peristiwa Konkret ke Peristiwa Hukum, 2012